Pages

Welcome

Hope you'll find what you looking for :)

Kamis, 30 April 2015

8/9. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah 8/9.6. Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah

8/9. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah
8/9.6. Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah

Perbedaan karakteristik wilayah berarti perbedaan potensi yang dimiliki, sehingga membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap wilayah. Untuk menunjukkan adanya perbedaan potensi ini maka dibentuklah zona-zona pengembangan ekonomi wilayah.
Zona Pengembangan Ekonomi Daerah adalah pendekatan pengembangan ekonomi daerah dengan membagi habis wilayah sebuah daerah berdasarkan potensi unggulan yang dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri dari dua atau lebih zona dan sebuah zona dapat terdiri dari dua atau lebih cluster. Setiap zona diberi nama sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki, demikian pula pemberian nama untuk setiap cluster, misalnya : Zona Pengembangan Sektor Pertanian yang terdiri dari Cluster Bawang Merah, Cluster Semangka, Cluster Kacang Tanah, dst.
Zona pengembangan ekonomi daerah (ZPED) adalah salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk membangun ekonomi suatu daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Pola pembangunan ekonomi dengan pendekatan Zona Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED), bertujuan:
1.      Membangun setiap wilayah sesuai potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya/kompetensi intinya.
2.      Menciptakan proses pembangunan ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan.
3.      Memberikan peluang pengembangan wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan yang umumnya dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional dewasa ini. Para ahli sangat concern dengan ide pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah berbagai Strategi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED).
Strategi ini terangkum dalam berbagai teori dan analisis yang terkait dengan pembangunan ekonomi lokal. Salah satu analisis yang relevan dengan strategi ini adalah Model Pembangunan Tak Seimbang, yang dikemukakan oleh Hirscman :
“Jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua priode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa pembangunan berjalan dengan baik walaupun sektor berkembang dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan industri-industri lain yang terkait dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut”.
Model pembangunan tak seimbang menolak pemberlakuan sama pada setiap sektor yang mendukung perkembangan ekonomi suatu wilayah. Model pembangunan ini mengharuskan adanya konsentrasi pembangunan pada sektor yang menjadi unggulan (leading sector) sehingga pada akhirnya akan merangsang perkembangan sektor lainnya.
Terdapat pula analisis kompetensi inti (core competiton). Kompetensi inti dapat berupa produk barang atau jasa yang andalan bagi suatu zona/kluster untuk membangun perekonomiannya. Pengertian kompetensi inti menurut Hamel dan Prahalad (1995) adalah :
“Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis”.
Sedangan menurut Reeve (1995) adalah :
“Aset yang memiliki keunikan yang tinggi, sulit ditiru, keunggulan daya saing ditentukan oleh kemampuan yang unik, sehingga mampu membentuk suatu kompetensi inti”.


8/9. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah 8/9.5. Pembangunan Indonesia Bagian Timur

8/9. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah
8/9.5. Pembangunan Indonesia Bagian Timur

Pembangunan di Indonesia Bagian Timur lebih tertinggal dibandingkan daerah Indonesia bagian lain. Mungkin penyebabnya tanah yang lebih tidak subur dan masalah transportasi. Daerah yang agak tandus, jalannya lebih cepat rusak, entah karena keadaan tanahnya atau karena suhu udaranya yang lebih panas. Sehingga perjalanan memerlukan waktu tempuh yang lebih lama dan medan yang berat. Dekat waduk/bendungan. Daerah yang sulit dijangkau karena jalannya rusak atau jauh, lebih mudah terjangkau dengan adanya transportasi air.
Keuntungannya:
·         Proyek yang menarik dan mudah dijual karena akan mendapatkan hasil langsung berupa pohon/hasil hutan sepanjang yang akan dibuat jalan. Akan mendapatkan bahan galian yang bisa berupa bahan tambang yang bernilai tinggi (bisanya daerah tandus kaya akan bahan tambang bernilai tinggi dan batuan mulia/permata)dan atau bahan mineral.
·         Peluang bisnis transportasi manusia dan barang (kalau tidak salah transportasi via air termasuk transportasi yang paling murah untuk angkutan barang).
·         Bendungan bisa juga dibuat pembangkit listrik tenaga air.
·         Bisa menjadi Objek wisata
·         Di bendungan bisa dibuat budi daya ikan jaring terapung, sedangkan di jalan air bisa di buat budi daya ikan di keramba.
·         Untuk saluran irigasi.
·         Meningkatkan kesuburan tanah(biasanya daerah dekat aliran air, tanahnya menjadi lebih subur).
·         Bisa juga dirancang untuk mengatasi banjir.
·         Bisa juga dirancang untuk mengatasi kebakaran hutan (minimal melokalisasi kebakaran hutan yang terpotong jalan air).
·         Transportasi manusia dan barang lebih mudah, murah dan lancar otomatis meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah itu dan antar pulau.
·         Akan berkembang aktivitas-aktivitas ekonomi penunjang lainnya yang meningkatkan penghasilan dan menyerap lapangan pekerjaan.
·         Mempermudah aparat keamanan untuk menjaga daerah-daerah yang sulit dijangkau lewat darat.
Hal-hal yang harus diperhatikan:
o   Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas jalan air
o   Debit banjir bila air meluap
o   Pemeliharaan jalan air
o   Masalah keselamatan pengguna jalan air.


8/9. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah 8/9.4. Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan

8/9. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah
8/9.4. Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan

A.    Konsentrasi Kegiatan ekonomi
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat ekonomi yang rendah cenderung mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Sebenarnya ada 2 masalah utama dalam pembanguna ekonomi nasional selama ini. Yang pertama adalah semua kegiatan ekonomi hanya terpusat pada satu titik daerah saja, contohnya Jawa. Yang kedua adalah yang sering disebut dengan efek menetes ke bawah tersebut tidak terjadi atau prosesnya lambat. Banyak faktor yang mnyebabkan hal ini, seperti besarnya sebagian input untuk berproduksi diimpor (M) dari luar, bukannya disuplai dari daerah tersebut. Oleh karena itu, keteraitan produksi ke belakang yang sangat lemah, sektor-sektor primer di daerah luar Jawa melakukan ekspor (X) tanpa mengolahnya dahulu untuk mendapatkan NT. Hasil X pada umumnya hanya banyak dinikmati di Jawa.
Jika keadaan ini terus dibiarkan maka, daerah di luar pulau Jawa akan rugi dan semakin miskin saja, karena:
1.      Daerah akan kekurangan L yang terampil, K serta SDA yang dapat diolah untuk keperluan sendiri.
2.      Daerah akan semakin sulit dalam mengembangkan sektor non primer khususnya industri manufaktur, dan akan semakin sulit mengubah struktur ekonominya yang berbasis pertanian atau pertambangan ke industri.
3.      Tingkat pendapatan masyarakat di daerah semakin rendah sehingga pasar output semakin lama, dan menyebabkan perkembangan investasi di daerah semakin kecil.
Ketimpangan dalam distribusi kegiatan ekonomi antarwilayah Indonesia terlihat jelas dalam tidak meratanya pembagian kegiatan industri manifaktur antar provinsi. Daerah Jawa didominasi oleh sektor-sektor yang memiliki NT tinggi, khususnya industri manufaktur, sedangkan di luar Jawa didominasi oleh sektor yang memiliki NT rendah, seperti pertanian. Karena kepincangan struktur inilah terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi di Indonesia. Dan industri di luar Jawa yang rendah disebabkan karena pasar lokal yang kecil, infrastruktur yang terbatas, serta kurang SDM.


B.     Alokasi Investasi
Indikator lain juga yang menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar, bahwa kurangnya investasi di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut menjadi rendah, karena tidak adanya kegiatan ekonomi yang produktif, seperti industri manufaktur.
Terpusatnya I di wilayah Jawa, disebabkan oleh banyak faktor seperti kebijakan dan birokrasi yang terpusat selama ini (terutama sebelum pelaksanaan otonomi daerah daerah), konsentrasi penduduk di Jawa dan keterbatasan infrastruktur serta SDM di wilayah luar Jawa. Persebaran sumber daya alam tidak selamanya melimpah. Ada beberapa sumber daya alam yang terbatas dalam jumlahnya dan dalam proses pembentukannya membutuhkan jangka waktu yang relatif lama. Sumber daya alam merupakan segala sesuatu yang tersedia di alam dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Sumber daya alam secara umum dibagi menjadi 2, yaitu: sumber daya alam yang dapat diperbarui dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.
C.     Mobilitas antar Faktor Produksi yang Rendah antar Daerah
Kehadiran buruh migran kelas bawah adalah pertanda semakin majunya suatu negara. Ini berlaku baik bagi migran legal dan ilegal. Ketika sebuah negara semakin sejahtera, lapisan-lapisan masyarakatnya naik ke posisi ekonomi lebih tinggi (teori Marxist: naik kelas).
Fenomena “move up the ladder” ini dengan sendirinya membawa kepada konsekuensi kosongnya lapisan terbawah. Walaupun demikian lapisan ini tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebenarnya lapisan ini sangat substansial, karena menopang “ladders” atau lapisan-lapisan yang berada di atasnya. Lapisan inilah yang diisi oleh para migran kelas bawah.
Salah satu pilar ekonomi liberal adalah kebebasan mobilitas faktor produksi, termasuk faktor buruh. Seharusnya yurisdiksi administratif negara tidak menjadi penghalang mobilitas tersebut. Namun, tetap saja perpindahan ini perlu ditinjau dan dikontrol agar tetap teratur.
D.    Perbedaan SDA antar Provinsi
Dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa pembanguan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin SDA. Sebenarnya samapai dengan tingkat tertebntu pendapat ini masih dapat dikatakan, dengan catatan SDA dianggap sebagai modal awal untuk pembangunan. Namun, belum tentu juga daerah yang kaya akan SDA akan mempunyai tingkat pembanguan ekonomi yang lebih tinggi juga jika tidak didukung oleh teknologi yang ada (T).
Penguasaan T dan peningkatan taraf SDM semakin penting, maka sebenarnya 2 faktor ini lebih penting daripada SDA. Memang SDA akan mendukung pembangunan dan perkembangan, tetapi akan percuma jika memiliki SDA tapoi minim dengan T dan SDM.
Program desentralisasi dan otonomi daerah merupakan pekerjaan besar dan harus berhasil dengan baik. Keragaman kemampuan dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada sequencing yang jelas dan penerapan bertahap menurut kemampuan daerah.
Dalam proses pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan program desentralisasi yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai sebaliknya malah akan mengganggu pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan merugikan pembangunan ekonomi daerah sendiri. Oleh karena itu,  proses desentralisasi tidak perlu diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah pengembangan kelembagaan dan kemampuan, termasuk untuk pengembangan kebijakan, pada tingkat daerah,  khususnya daerah Tingkat II. Hal ini merupakan kerja nasional yang harus mendapat prioritas pertama dan dilaksanakan terutama di daerah. Inilah inti dari pemberdayaan ekonomi daerah yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien.
Pembangunan ekonomi yang efisien membutuhkan secara seimbang perencanaan yang lebih teliti mengenai penggunaan sumber daya publik dan sektor swasta: petani, pengusaha kecil, koperasi, pengusaha besar, organisasi sosial harus mempunyai peran dalam proses perencanaan.
E.     Perbedaan Kondisi Demografis antar Provinsi
Kondisi demografis antar provinsi berbeda satu dengan lainnya, ada yang disominasi oleh sektor pertanian, ada yang didominiasi oleh sektor pariwisata, dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi demografis ini biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap daerah berbeda-beda. Contoh kasusnya, kita tengok ke daerah Tegal.
Penduduk Kota Tegal pada tahun 2007 adalah 247,076 jiwa yang terdiri dari laki-laki 123.792 jiwa (50,10 %) dan perempuan 123,284 jiwa (49,90 %) dengan laju pertumbuhan 0,55 % per tahun, sedangkan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun ) 170.124 jiwa (68,86 %).
Ternyata kepadatan penduduk rata – rata di Kota Tegal pada tahun 2007 sebesar 6.193 jiwa/Km² dengan kepadatan penduduk tertinggi di Kelurahan Kejambon sebesar 13.723 jiwa/Km² dan kepadatan terendah di Kelurahan Muarareja sebesar 750 jiwa/Km².
Jumlah penduduk usia kerja di Kota Tegal tahun 2007 tercatat berjumlah 204.517 dengan jumlah angkatan kerja sebesar 168.575 jiwa atau 82,43 % yang terdiri dari 87.537 jiwa laki-laki dan 81.038 jiwa perempuan. Dari jumlah tersebut 112.660 sudah bekerja dan 55.915 tidak bekerja.
Mata pencaharian penduduk Kota Tegal menurut jenis mata pencahariannya adalah petani sendiri 3.739 orang, buruh tani 6.457 orang, nelayan 12.013 orang, pengusaha 2.303 orang, buruh industri 20.310 orang, buruh bangunan 18.704 orang, pedagang 21.887 orang, pengangkutan 6.687 orang, PNS/ABRI 9.223 orang, pensiunan 4.473 orang dan lain-lain 11.930 orang.
Sektor pendidikan merupakan salah satu prioritas utama kebijakan Pemerintah Kota Tegal, sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan sektor ini diarahkan kepada penyediaan sarana dan prasarana serta memberikan kemudahan akses pendidikan kepada masyarakat.
Kebijakan-kebijakan strategis yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Tegal secara bertahap sejak tahun 2000 sampai dengan saat ini untuk mendukung pembangunan sektor pendidikan formal antara lain yaitu pembangunan sarana dan prasarana fisik, pemberian bea siswa, pembebasan biaya pendidikan untuk tingkat sekolah dasar dan lanjutan tingkat I, penyediaan buku pelajaran serta peningkatan kualitas tenaga pengajar melalui pelatihan dan penyetaraan kualifikasi pendidikan guru. Pada tahun 2007 tamatan pendidikan untuk SD sebanyak 4.214 jiwa, SLTP 3.780 jiwa, dan SLTA 3.435 jiwa.
F.      Kurang Lancarnya Perdagangan antar Provinsi
Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga menyebabkan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Pada umumnya ketidaklancaran tersebut disebabkan karena keterbatasan transportasi dan komunikasi. Perdagangan antarprovinsi meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, dan bahan baku untuk keperluan produksi dan jasa. Ketidaklancaran perdagangan ini mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan lewat sisi permintaan (Demand) dan sisi penawaran (Supply). Dari sisi permintaan, kelangkaan akan barang dan jasa akan berdampak juga pada permnitaan pasar terhadap kegiatan eonomi lokal yang sifatnya komplementer dengan barang tersebut. Sedangkan dari sisi penawaran, sulitnya memperoleh barang modal seperti mesin, dapat menyebabkan kegiatan ekonomi di suatu provinsi menjadi   lumpuh, selanjutnya dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.


8/9. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah 8/9.3. Pembangunan Ekonomi Regional

8/9. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah
8/9.3. Pembangunan Ekonomi Regional

Dari aspek ekonomi, daerah mempunyai tiga pengertian yaitu:
1.      Suatu daerah dianggap dimana sebagai ruang ekonomi kegiatan ekonomi dan di berbagai polosok ruang tersebut terdapat sifat-sifat yang sama seperti sosial budayanya, geografisnya dan sebagainya.
2.      Suatu daerah dianggap sebagai suatu ekonomi ruang yang di kuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi. Dalam pengertianini disebut sebagai daerah modal.
3.      Suatu daerah adalah suatu ekonomi ruang yang berbeda dibawah suatu administratif tertentu seperti propinsi, kabupaten, kecamatan dan sebagainya yang kemudian dinamakan daerah perencanaan atau daerah administratif.
Jika kita membahas tentang perencanaan dan pembangunan ekonomi daerah, maka dalam praktek ketiga pengertian tersebut di atas yang lebih banyak digunakan karena:
§  Dalam melaksanakan kebijaksanaan dan pembangunan ekonomi daerah diperlukan tindakan-tindakan dari berbagai lembaga pemerintah. Oleh karena itu akan lebih praktis jika suatu negara dipecahkan menjadi beberapa daerah ekonomi berdasarkan satuan administratif yang ada.
§  Daerah yang batasannya ditentukan secara administratif lebih mudah dianalisis karena biasanya pengukmpulan data di berbagai daerah dalam suatu negara pembagiannya didasarkan satuan administratif.
Pembangunan Ekonomi Regional/Daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi(pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan ekonomi daerah terletak pada penekanan kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan, dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan dan sumber daya fisik secara lokal.
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, ilmu pengetahuan dan pengembangan pertusahaan-perusahaan baru.
Tujuan utama ekonomi daerah/regional adalah untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah.


8/9. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah 8/9.2. Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah

8/9. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah
8/9.2. Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah

·         Pendapatan daerah: PAD, bagi hasil pajak dan non pajak, pemberian dari pemerintah
·         Dalam UU No. 25 ada tambahan pos penerimaan daerah yaitu dana perimbangan dari pemerintah pusat
·         Beberapa dampak dari diberlakukannya UU No. 25 terhadap keuangan daerah adalah:
      o   Peranan PAD  dalam pembiayaan pembangunan ekonomi (APBD) tidak terlalu besar. Hal ini     mencerminkan tingginya tingkat ketergantungan finansial daerah terhadap pemerintah pusat.
      o   Ada Korelasi positif antara daerah yang kaya SDA dan SDM  dengan peranan PAD dalam APBD

      o   Pada tahun 1998/1999 terjadi penurunan PAD dalam pembentukan APBD-nya, salah satu penyebabnya adalah krisis ekonomi yang melanda tanah air.

8/9. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah 8/9.1. Undang-Undang Otonomi Daerah

8/9. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah
8/9.1. Undang-Undang Otonomi Daerah

UU otonomi daerah merupakan dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia atau dapat juga disebut payung hukum pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. UU otonomi daerah di Indonesia menjadi payung hukum terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU otonomi daerah seperti, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan seterusnya.
UU otonomi daerah itu sendiri merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan pembentukan UU Otonomi Daerah untuk mengatur mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945  Pasal 18 ayat (7), bahwa:
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”.
Ketentuan tersebut diatas menjadi payung hukum bagi pembentukan UU otonomi daerah di Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi dasar bagi pembentukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah undang-undang menurut hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan segera setelah gerakan reformasi 1998. Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah mulai diberlakukan. Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.


6/7. Kemiskinan dan Kesenjangan 6/7.8. Kebijakan Anti Kemiskinan

6/7. Kemiskinan dan Kesenjangan
6/7.8. Kebijakan Anti Kemiskinan

Untuk menghilangkan atau mengurangi kemiskinan di tanah air diperlukan suatu strategi dan bentuk intervensi yang tepat, dalam arti cost effectiveness-nya tinggi.
Ada tiga pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni :
1.      Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan yang prokemiskinan
2.      Pemerintahan yang baik (good governance)
3.      Pembangunan sosial
Untuk mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan yang bila di bagi menurut waktu yaitu :
·         Intervensi jangka pendek, terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan
·         Intervensi jangka menengah dan panjang
      o   Pembangunan sektor swasta
      o   Kerjasama regional
      o   APBN dan administrasi
      o   Desentralisasi
      o   Pendidikan dan Kesehatan
      o   Penyediaan air bersih dan Pembangunan perkotaan


6/7. Kemiskinan dan Kesenjangan 6/7.7. Faktor Faktor Penyebab Kemiskinan

6/7. Kemiskinan dan Kesenjangan
6/7.7. Faktor Faktor Penyebab Kemiskinan

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan menurut para Ahli.
Setiap permasalahan timbul pasti karna ada faktor yang mengiringinya yang menyebabkan timbulnya sebuah permasalahan, begitu juga dengan masalah kemiskinan yang dihadapi oleh negara indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan menurut Hartomo dan Aziz dalam Dadan Hudyana (2009:28-29) yaitu :
1.      Pendidikan yang Terlampau Rendah
Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupannya. Keterbatasan pendidikan atau keterampilan yang dimiliki seseorang menyebabkan keterbatasan kemampuan seseorang untuk masuk dalam dunia kerja.
2.      Malas Bekerja
Adanya sikap malas (bersikap pasif atau bersandar pada nasib) menyebabkan seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah untuk bekerja.
3.      Keterbatasan Sumber Alam
Suatu masyarakat akan dilanda kemiskinan apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Hal ini sering dikatakan masyarakat itu miskin karena sumberdaya alamnya miskin.
4.      Terbatasnya Lapangan Kerja
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal seseorang harus mampu menciptakan lapangan kerja baru sedangkan secara faktual hal tersebut sangat kecil kemungkinanya bagi masyarakat miskin karena keterbatasan modal dan keterampilan.
5.      Keterbatasan Modal
Seseorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi alat maupun bahan dalam rangka menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh penghasilan.
6.      Beban Keluarga
Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha peningakatan pendapatan akan menimbulkan kemiskinan karena semakin banyak anggota keluarga akan semakin meningkat tuntutan atau beban untuk hidup yang harus dipenuhi.
Suryadiningrat dalam Dadan Hudayana (2009:30), juga mengemukakan bahwa kemiskinan pada hakikatnya disebabkan oleh kurangnya komitmen manusia terhadap norma dan nilai-nilai kebenaran ajaran agama, kejujuran dan keadilan. Hal ini mengakibatkan terjadinya penganiayaan manusia terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain. Penganiayaan manusia terhadap diri sendiri tercermin dari adanya :
1.      keengganan bekerja dan berusaha,
2.      kebodohan,
3.      motivasi rendah,
4.      tidak memiliki rencana jangka panjang,
5.      budaya kemiskinan, dan
6.      pemahaman keliru terhadap kemiskinan.
Sedangkan penganiayaan terhadap orang lain terlihat dari ketidakmampuan seseorang bekerja dan berusaha akibat :
1.      ketidakpedulian orang mampu kepada orang yang memerlukan atau orang tidak mampu dan
2.      kebijakan yang tidak memihak kepada orang miskin.
Kartasasmita dalam Rahmawati (2006:4) mengemukakan bahwa, kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, diantaranya yaitu :
1.      Rendahnya Taraf Pendidikan
Taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan meyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan seseorang untuk mencari dan memanfaatkan peluang.
2.      Rendahnya Derajat Kesehatan
Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa.
3.      Terbatasnya Lapangan Kerja
Selain kondisi kemiskinan dan kesehatan yang rendah, kemiskinan juga diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan.
4.      Kondisi Keterisolasian
Banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya.
Nasikun dalam Suryawati (2005:5) menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu :
1.      Pelestarian Proses Kemiskinan
Proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan.
2.      Pola Produksi Kolonial
Negara ekskoloni mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.
1.      Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Adanya unsur manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
2.      Kemiskinan Terjadi Karena Siklus Alam.
Misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.
3.      Peminggiran Kaum Perempuan
Dalam hal ini perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.
4.      Faktor Budaya dan Etnik
Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan seperti, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.


6/7. Kemiskinan dan Kesenjangan 6/7.6. Kemiskinan di Indonesia

6/7. Kemiskinan dan Kesenjangan
6/7.6. Kemiskinan di Indonesia

Kemiskinan memang adalah pekerjaan besar bagi pemerintah kita, tapi pekerjaan itu tidak pernah di prioritaskan untuk mengurangi angka kemiskinan, berbagi cara telah di lakukan tapi malah tidak dapat mengurus permasalahan ini.
Kemiskinan merupakan masalah yang ditandai oleh berbagai hal antara lain rendahnya kualitas hidup penduduk, terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya dan rendahnya mutu layanan kesehatan, gizi anak, dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Selama ini berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi kemiskinan melalui penyediaan kebutuhan pangan, layanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja dan sebagainya.
Berbagai upaya tersebut telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 54,2 juta (40.1%) pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta (11.3%) pada tahun 1996. Namun, dengan terjadinya krisis ekonomi sejak Juli 1997 dan berbagai bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami pada Desember 2004 membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, yaitu melemahnya kegiatan ekonomi, memburuknya pelayanan kesehatan dan pendidikan, memburuknya kondisi sarana umum sehingga mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk miskin menjadi 47,9 juta (23.4%) pada tahun 1999. Kemudian pada 5 tahun terakhir terlihat penurunan tingkat kemiskinan secara terus menerus dan perlahan-lahan sampai mencapai 36,1 juta (16.7%) di tahun 2004.
Pemecahan masalah kemiskinan memerlukan langkah-langkah dan program yang dirancang secara khusus dan terpadu oleh pemerintah dan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.