ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
(TUGAS 2)
DEFINISI
HUKUM PERDATA
Definisi hukum perdata dikutip dari beberapa sumber:
Pada dasarnya hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
hukum publik dan hukum privat (hukum perdata). Istilah hukum perdata pertama
kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari
burgerlijkrecht pada masa pendudukan Jepang. Disamping istilah itu, sinonim
hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht. Para ahli memberikan batasan
hukum perdata, seperti berikut ini. Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya
pada abad ke-19 adalah: “Suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang
sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak
milik dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan yang minimal
bagi kehidupan pribadi”.
Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H. dalam buku (yang
berasal dari kuliah beliau pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat
Indonesia pada tahun 1954 yang berjudul Pengantar Tata hukum Indonesia, Bagian
I yang diterbitkan oleh PT Pembangunan, 195 mengatakan: “Yang menjadi isi dari
pada KUHS (Kitab Undang-Undang Hukum Sipil, menurut istilah beliau untuk
istilah KUHPer) itu adalah terutama hukum perdata material, sedang yang
dimaksudkan dengan hukum perdata materiil ini ialah kesemuanya kaidah hukum yang
menentukan dan mengatur hak-hak dan kewajiban perdata. Lawannya ialah hukum
perdata formal, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur
bagaimana caranya melaksanakan hak-hak dan kewajiban perdata tersebut.
Definisi lain tentang pengertian hukum perdata dikemukakan
H.F.A. Vollmar dan Sudikno Mertokusumo. Vollmar berpendapat bahwa hukum perdata
adalah: “Aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh
karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan kepentingan
perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan
kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama
yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas” Pandangan Vollmar ini
mempunyai kesamaan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo.
Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum perdata sebagai berikut: “Hukum
antarperorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu
terhadap yang lain di dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan
masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan masing-masing pihak”.
Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam buku beliau yang
berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata, 1954, bahwa perkataan “Hukum Perdata” dalam
arti yang luas meliputi semua hukum “privat material”, yaitu segala hukum pokok
yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Perkataan “perdata” juga
lazim dipakai sebagai lawan “pidana”. Ada juga orang memakai perkataan “hukum
sipil” untuk hukum privat material itu, tetapi karena perkataan “sipil” itu
juga lazim dipakai sebagai lawan “militer”, maka lebih baik kita memakai
istilah “hukum perdata” untuk segenap peraturan hukum privat material, demikian
Prof. Subekti. Selanjutnya menurut beliau, perkataan “Hukum Perdata”, adakalanya
dipakai dalam arti yang sempit, sebagai lawan “hukum dagang” seperti dalam
pasal 102 Undang_Undang Dasar Sementara, yang menitahkan pembukuan (kodifikasi)
hukum di negara kita ini terhadap Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana
Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana,
yang susunan serta kekuasaannya.
DEFINISI HUKUM
PIDANA
Ilmu Hukum Pidana ialah ilmu tentang Hukum Pidana. Yang
menjadi objek atau sasaran yang ingin dikaji adalah Hukum Pidana. Ilmu Hukum
Pidana mempunyai tugas untuk menjelaskan, menganalisa dan seterusnya menyusun
dengan sistematis dari norma hukum Pidana dan sanksi Pidana, agar pemakaiannnya
menjadi berlaku lancer.
Ilmu hukum Pidana yang mempunyai objek terhadap peraturan
hukum pidana yang berlaku pada suatu tempat dan waktu yang tertentu, sebagai
hukum positif. Penyelidikan yang bertujuan untuk mendapatkan pengertian yang
objektif melalui Ilmu Hukum Pidana terhadap hukum positif, hasilnya mempunyai
arti yang sangat penting karena tidaklah mudah untuk menerapkan hukum positif
secara sistematis, kritis, harmonis, berhubung ada faktor pengaruh dari
perkembangan masyarakat dan perkembangan ilmu-ilmu lainnya.
Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari
Hukum Publik merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen
eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting
eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana,
menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan
merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan
tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan
yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana,
serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.
A. Definisi Hukum Pidana
Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa
yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam
Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang
dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang dilarang dalam
hukum pidana adalah:
Pembunuhan, Pencurian, Penipuan, Perampokan, Penganiayaan,
Pemerkosaan, dan Korupsi.
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat
“Pengantar Ilmu Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai
“Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang
dilarang oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, prosedur
yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman yang
ditetapkan atas terdakwa.”Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk :
Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa
yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan
sebagai nestapa. Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara istilah “pidana” dengan istilah
“hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan
untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut beliau istilah “pidana”
lebih baik daripada “hukuman. Menurut Muladi dan Bardanawawi Arief “Istilah
hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang
luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang
cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum,
tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan
sebagainya.
Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka
perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan
cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”. Pengertian tindak pidana yang di
muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk
undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit.Para pembentuk undang-undang
tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu,
maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering
dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan
pidana, peristiwa pidana, serta delik.
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum
tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di Indonesia sendiri, kita belum
memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan
Kitab Undang-UndangHukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain :
Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak
pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain:
UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.
UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme dan
lain-lain
Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai
Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.
B. Tujuan Hukum Pidana
Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah :
Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan
perbuatan yang tidak baik.
Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan
tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan
lingkunganya.
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna
pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping
pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik.
Jadi Hukum Pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur
dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan
umum. Tetapi kalau di dalam kehidupan ini masih ada manusia yang melakukan
perbuatan tidak baik yang kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain,
sebenarnya sebagai akibat dari moralitas individu itu. Dan untuk mengetahui
sebab-sebab timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu(sebagai pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan pidana), maka dipelajari oleh “kriminologi”.
C. Klasifikasi Hukum Pidana
Secara substansial atau Ius Poenalle ini merupakan hukum
pidana dalam arti obyektif yaitu “sejumlah peraturan yang mengandung
larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam
dengan hukuman”. Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu:
Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang menentukan
perbuatan-perbuatan kriminal yang dilarang oleh Undang-Undang, dan
hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan
bagian dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum
Pidana lainnya, seperti Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain
sebagainya.
Hukum Formil (Hukum Acara Pidana) Untuk tegaknya hukum
materiil diperlukan hukum acara. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur
bagaimana cara agar hukum (materil) itu terwujud atau dapat
diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa hukum
acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum
pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara
perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa,
pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara
Pidana”-nya memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan
kaidah-kaidah yang mengatur dakwa pidana—mulai dari prosedur pelaksanaannya
sejak waktu terjadinya pidana sampai penetapan hukum atasnya, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum yang tumbuh dari prosedur
tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan perdata yang
merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga pelaksanaan
peradilannnya.”. Dari sini, jelas bahwa substansi Hukum Acara Pidana meliputi:
Dakwa Pidana, sejak waktu terjadinya tindak pidana sampai
berakhirnya hukum atasnya dengan beragam tingkatannya.
Dakwa Perdata, yang sering terjadi akibat dari tindak pidana
dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan
pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan
kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya, dikategorikan
sebagai cabang dari Hukum Publik, karena sifat global sebagian besar dakwa
pidana yang diaturnya dan karena terkait dengan kepentingan Negara dalam
menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh sebab itu, Undang-Undang Hukum Acara
ditujukan untuk permasalahan-permasalahan yang relatif rumit dan kompleks,
karena harus menjamin keselarasan antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku
pidana, dan hak pelaku pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama
baiknya, dan jika memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk
mewujudkan tujuan ini, para ahli telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana
harus benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.
Hukum Pidana dalam arti Dalam arti Subyektif, yang disebut
juga “Ius Puniendi”, yaitu “sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk
menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang”.
D. Ruang Lingkup Hukum Pidana
Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut
dengan peristiwa pidana atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons
peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana
dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab. Jadi unsur-unsur
peristiwa pidana, yaitu:
Sikap tindak atau perikelakuan manusia. Melanggar hukum,
kecuali bila ada dasar pembenaran; Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada
dasar penghapusan kesalahan.
Sikap tindak yang dapat dihukum/dikenai sanksi adalah:
Perilaku manusia ; Bila seekor singa membunuh seorang anak
maka singa tidak dapat dihukum,
Terjadi dalam suatu keadaan, dimana sikap tindak tersebut
melanggar hukum, misalnya anak yang bermain bola menyebabkan pecahnya kaca
rumah orang,
Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui tindakan
tersebut merupakan pelanggaran hukum; Dengan pecahnya kaca jendela rumah orang
tersebut tentu diketahui oleh yang melakukannya bahwa akan menimbulkan kerugian
orang lain,
Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi sikap
tindak tersebut.Orang yang memecahkan kaca tersebut adalah orang yang sehat dan
bukan orang yang cacat mental.
Dilihat dari perumusannya, maka peristiwa pidana/delik dapat
dibedakan dalam :
Delik formil, tekanan perumusan delik ini ialah sikap tindak
atau perikelakuan yang dilarang tanpa merumuskan akibatnya.
Delik materiil, tekanan perumusan delik ini adalah akibat
dari suatu sikap tindak atau perikelakuan. Misalnya pasal 359 KUHP :
“Dalam Hukum Pidana ada suatu adagium yang berbunyi :
“Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya tidak ada
suatu perbuatan dapat dihukum tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan
tersebut sebelumnya. Ketentuan inilah yang disebut sebagai asas legalitas”.
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan
tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum
pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana, ialah :
Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel),
Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteitsbeginsel),
Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteitsbeginsel).
DEFINISI
HUKUM PERJANJIAN
A. PERJANJIAN PADA
UMUMNYA
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut
Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
A.1. Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum
Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan
karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan
yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak
dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal
1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam
suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini
tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
A.2. Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para
pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai
perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan
penipuan.
Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan
perjanjian harus cakap menurut
hukum, serta berhak dan berwenang
melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa
setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak
cakap. Pasal 1330 KUH Perdata
menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:
– Orang yang
belum dewasa.
Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai
berikut:
(i) Menurut Pasal 330
KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah
berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat
pikirannya.
(ii) Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974
tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang
Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun,
sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
– Mereka yang
berada di bawah pengampuan.
– Orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya
Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
– Semua orang
yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa
perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu
perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal
yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan syarat No.3 dan No.4 disebut
Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah
satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak
yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak
yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat
kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh
hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka
perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah
dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
A.3. Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak
yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat
berupa empat macam, yaitu:
Tidak melaksanakan isi perjanjian.
Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan.
Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
A.4. Hapusnya Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai
berikut:
a. Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian secara sukarela. Berdasarkan
pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang
kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan
subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH
Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena
Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
b. Penawaran
pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada
Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si
berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur
menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk
mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau
barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan
Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan
Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau
dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang
piutang itu.
c. Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan
suatu perjanjian lama. Menurut Pasal
1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau
novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari
perjanjian itu.
d. Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan
memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara
kreditur dan debitur. Jika debitur
mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu
sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat
terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua
belah pihak itu telah terjadi, kecuali:
(i) Apabila
penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
(ii) Apabila
dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
(iii) Terdapat
sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak
dapat disita (alimentasi).
e. Percampuran utang
Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur)
dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi
hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan,
misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai
ahli waris tunggal oleh krediturnya.
f. Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah
suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari
segala kewajibannya.
g. Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian
musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak
diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang
tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.
h. Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas
perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan
perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak
yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum
pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti
permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat
subyektif dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu
(i) Secara aktif
menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;
(ii) Secara
pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk
memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
i. Berlakunya suatu
syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu
syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala
sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j. Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu
adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu
perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan
hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus
karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka
perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
B. STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya
terdiri dari:
Judul/Kepala
Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para
pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud
dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
C. BENTUK PERJANJIAN
Perjanjian dapat berbentuk:
·
Pengertian
Akta
Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat
untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani pihak yang
membuatnya.
Berdasarkan ketentuan pasal 1867 KUH Perdata suatu akta
dibagi menjadi 2 (dua), antara lain:
a. Akta Di bawah
Tangan (Onderhands)
b. Akta Resmi (Otentik).
Akta Di bawah Tangan
Adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang
berwenang atau Notaris. Akta ini yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak
yang membuatnya. Apabila suatu akta di
bawah tangan tidak disangkal oleh Para Pihak, maka berarti mereka mengakui dan
tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah tangan
tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah tangan tersebut
memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik.
Perjanjian di bawah tangan terdiri dari:
(i) Akta di bawah
tangan biasa
(ii) Akta
Waarmerken, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat dan ditandatangani
oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada Notaris, karena hanya
didaftarkan, maka Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda
tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak.
(iii) Akta
Legalisasi, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak namun
penandatanganannya
disaksikan oleh
atau di hadapan Notaris, namun Notaris tidak bertanggungjawab terhadap
materi/isi dokumen melainkan Notaris hanya bertanggungjawab terhadap tanda
tangan para pihak yang bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen
tersebut.
Akta Resmi (Otentik)
Akta Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang
dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum
pembuat akta itu. Pejabat umum yang
dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai
pencatatan sipil, dan sebagainya.
Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna bagi para pihak beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang
mendapat hak dari para pihak. Sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu
akta otentik, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di
dalam akta itu sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh
memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan
sebagai berikut:
(i) Akta itu harus
dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.
(ii) Akta itu harus
dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
(iii) Pejabat umum
oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk
membuat akta itu.
PENGERTIAN
HUKUM DAGANG
Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia
yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang
mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya
dalam lapangan perdagangan . Sistem hukum dagang menurut arti luas dibagi 2 :
• tertulis dan
• tidak tertulis
tentang aturan perdagangan.
Hukum dagang ialah aturan-aturan hukum yang mengatur
hubungan orang yang satu dengan yang lainnya, khusunya dalam perniagaan. Hukum
dagang adalah hukum perdata khusus. Pada mulanya kaidah hukum yang kita kenal
sebagi hukum dagang saat ini mulai muncul dikalangan kaum pedagang sekitar abad
ke-17. Kaidah-kaidah hukum tersebut sebenarnya merupakan kebiasaan diantara
mereka yang muncul dalam pergaulan di bidang perdagangan. Ada beberapa hal yang
diatur dalam KUH Perdata diatur juga dalam KUHD. Jika demikian adanya,
ketenutan-ketentuan dalam KUHD itulah yang akan berlaku. KUH Perdata merupakan
lex generalis(hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum
khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis
derogat lex generalis (hukum khusus menghapus hukum umum).
Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
1. Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a. Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b. Kitab
Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2. Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu
peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan
dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata.
Namun, seirinbg berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan)
aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (
KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ( KUHPer ).
ANALISIS:
Pada ulasan kali ini, penulis akan membahas mengenai
pengertian hukum perdata, pidana, perjanjian dan dagang.
Saya menganalisis tentang hukum Perdata dari pembahasan di
atas dapat disimpulkan:
Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli,
secara sederhana adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara
subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitik beratkan
pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam
kepentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam
usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya. Dalam praktek,
hubungan antara subyek hukum yang satu dengan yang lainnya ini, dilaksanakan
dan tunduk karena atau pada suatu kesepakatan atau perjanjian yang disepakati
oleh para subyek hukum dimaksud.
DAFTAR
PUSTAKA: